Rabu, 05 Desember 2007

Jelang FDP, Poso Diwarnai Ledakan

Beberapa jam menjelang pelaksanaan Festival Danau Poso 2007di Tentena, Kota Poso diwarnai ledakan keras sekitar pukul 19.00 WITA. Meski tak ada korban jiwa, ledakan itu membuat suasana Kota Poso mencekam.

Ledakan keras itu terjadi di Kelurahan Kawua, Kecamatan Poso Kota, tepatnya depan Rumah Makan Puncak, 200 meter dari markas Kompi Senapan 711 Poso. Ledakan itu diduga berasal dari sebuah benda seperti bom yang diletakkan orang-orang tak dikenal di tepi jalan raya.
Menurut saksi mata, tidak ada yang menduga benda tersebut akan meledak.Sehingga warga hanya mengacuhkan. “Tidak ada yang tahu pasti benda apa itu tapi beberapa warag melihat benda itu dan kami mengira benda itu sampah. Nanti meledak di tempat itu baru kami sadar itu bom,” ujar warga yang enggan disebutkan namanya kepada beritapalu.com Rabu 5 desember 2007.
Hingga pukul 22.00, sejumlah aparat keamanan melakukan olah TKPdi tempat kejadian. Polisi masih meneliti jenis benda yang meledak tersebut.
Ledakan ini merupakan yang pertama kalinya sejak Poso dinyatakan aman pasca ditangkapnya BAsri cs, DPO Poso yang menurut polisi adalah dalang dan pelaku kekerasan dan terror di Poso.
Sejak ledakan ini,aparat gabungan dari TNI dan Polri Rabu malam mulai menutup pintu masuk dari dan ke Poso.Sejumlah tempat dirazia oleh aparat bersenjata lengkap.
Ledakan ini memunculkan kekhawatiran lancarnya pelaksaan Festival Danau Poso (FDP) di Tentena yang akan dilaksanan mulai tanggal 6 Desember besok hinga 10 Desember 2007.
Sumber : beritapalu.com

Baca Selengkapnya...

Sabtu, 01 Desember 2007

Bintang Kejora Berkibar 5 Menit di Timika Papua

Bagi masyarakat Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI, 1 Desember bermakna khusus. Hari itu diperingati sebagai HUT Papua Merdeka. Bintang Kejora pun sempat dikibarkan selama 5 menit.

"Di Timika pukul 05.30 WIT, sekelompok masyarakat berhasil menaikkan bendera Bintang Kejora selama 5 menit sebelum diturunkan Polri," ujar Kapolda Papua Irjen Pol Max Donald Aer kepada detikcom, Sabtu (1/12/2007).
Para pelaku pengibaran bendera tersebut, lanjut Donald, kini masih diperiksa kepolisian Papua.
Donald mengaku tidak melakukan gelar kekuatan khusus pada 1 Desember ini. Namun pengawasan khusus dilakukan terhadap tempat-tempat tertentu yang diperkirakan akan digunakan sebagai tempat pengibaran bendera Bintang Kejora. Tempat-tempat tersebut antara lain Lapas Abepura yang sudah 2 kali digunakan sebagai tempat pengibaran bendera bintang Kejora oleh napi.
"Kemarin juga dilakukan sweeping dan ditemukan 2 lembar bendera Bintang Kejora, 1 papan tripleks bergambar bendera Bintang Kejora, 1 bendera Israel, beberapa senjata Israel, dan beberapa senjata tajam," tandasnya. (nvt/nvt)
Sumber : Detikcom

Baca Selengkapnya...

Senin, 26 November 2007

Keluarga Korban Aceh Temui Komnas HAM


Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diminta agar segera melakukan penyelidikan terhadap 14 kuburan massal korban pelanggaran HAM yang baru ditemukan keluarga korban beberapa bulan lalu.

Tiga perwakilan keluarga korban didampingi oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) bertandang ke Komnas HAM di Jl Latuharhari, Jakarta, Senin (26/11), menyampaikan pernyataan sikap mereka danmeminta agar Komnas HAM segera melakukan penyelidikan terhadap bukti baru tersebut.
"Komnas HAM agar segera bertindak untuk menginventarisasi masalah (bukti baru) tersebut, karena ada tradisi Islam yang kuat untuk menguburkan korban secara layak," kata Ali Zam Zami, Koordinator Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM (SPKP HAM).
Komnas HAM diharapkan dapat menjembatani keinginan sebagian keluarga korban untuk menguburkan jenazah secara layak dan keinginan keluarga korban lainnya yang minta agar kasus pelanggaran HAM tersebut diusut tuntas.
"Ada upaya penghilangan bukti terjadinya pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pada masa Daerah Operasi Militer (DOM), pasca-DOM maupun pada Darurat Militer dan Darurat Sipil. Komnas HAM agar segera bertindak terhadap bukti ini," kata Ali.
Ia mengatakan, selain 14 kuburan massal tersebut, keluarga korban yang antara lain tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat seperti SPKP HAM, K2HAU dan KKP HAM juga menemukan puluhan titik lain yang diduga juga menjadi tempat penguburan masal korban pelanggaran HAM.
Sejauh ini, upaya Pemerintah dan Komnas HAM dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM di Aceh dinilai kurang maksimal. "Padahal, penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM merupakan kewajiban konstitusional. Pengungkapan dengan tercapainya keadilan bagi korban dijamin oleh UUD 1945, UU No.39/1999 tentang HAM dan UU No.26/2000 tentang pengadilan HAM," demikian bunyi pernyataan sikap yang dibacakan Ali Zam Zami.
Pemberian kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM juga dinilai tidak
tepat karena tidak terarah dan tidak terukur, dimana pemberian kompensasi dilakukan dengan konsep 'pukul rata' baik bagi korban tsunami maupun korban kekerasan dengan mantan kombatan atau mantan milisi.
"Korban menolak adanya blood money yakni pemberian uang tanpa penyelesaian masalah pelanggaran HAM," kata Haris Azhar dari Kontras.
Komisioner Komnas HAM Yosef Adi Prasetyo dan Johny Simanjuntak yang menerima pengaduan tersebut menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM di Aceh sebenarnya telah dikaji oleh Komisioner sebelumnya. Tetapi hal itu tidak diterima di rapat pleno Komnas HAM karena banyak keberatan dari anggota komisioner.
"Oleh komisioner baru ini akan dilakukan kajian ulang dan akan ditentukan apakah perlu dilakukan kajian atau ditingkatkan menjadi penyelidikan," kata Yosef yang dikenal dengan nama Stanley.
Sementara itu, Johny mengatakan bahwa kasus besar seperti pelanggaran HAM di Aceh ini harus dibawa ke rapat pleno Komnas HAM untuk diputuskan seperti apa sikap bersama yang diambil komisioner baru tersebut.(Ant/OL-03)
Sumber : Media Indonesia online

Baca Selengkapnya...

Jumat, 23 November 2007

PELAPOR KHUSUS PBB MENGENAI PENYIKSAAN MENGAKHIRI KUNJUNGAN KE INDONESIA


23 November 2007
Pelapor Khusus PBB mengenai penyiksaan dan perlakukan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, Manfred Nowak, hari ini mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:

Pelapor Khusus diundang oleh Pemerintah Indonesia untuk berkunjung pada tanggal 10 – 25 November 2007; beliau menyampaikan penghargaan kepada kepada Pemerintah atas undangan ini. Lebih lanjut beliau menyampaikan terimakasih kepada kepala badan-badan PBB di Indonesia atas bantuannya sebelum dan selama kunjungannya.
Selain pertemuannya dengan pihak-pihak Pemerintah dan non-pemerintah di Jakarta, Pelapor Khusus mengunjungi lapas, rutan, fasilitas tahanan polisi dan militer serta panti rehabilitasi sosial di Jakarta, Papua, Sulawesi Selatan, Bali, DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Rangkaian jadwal pertemuan dan daftar lokasi yang dikunjungi terlampir dalam pernyataan ini.
Tujuan dari kunjungan ini mencakup 2 hal: untuk menilai situasi penyiksaan dan penganiayaan di Indonesia, dan untuk menawarkan bantuan kepada Pemerintah dalam usahanya untuk meningkatkan sistem administrasi peradilan, termasuk dalam sektor kepolisian dan penjara. Tak satupun negara di dunia ini yang terhindar dari kejahatan penyiksaan dan penganiayaan. : Pelapor Khusus berpendapat bahwa, elemen utama untuk melawan masalah ini secara efektif adalah setiap dan semua Negara menyadari kenyataan ini dan menampilkan masalah ini ke permukaan.
Seperti yang telah diakui bahwa, Indonesia telah melalui jalan panjang dalam menghadapi peninggalan era Suharto. Indonesia ingin memainkan peran utama dalam mempromosikan HAM di Asia Tenggara dan lebih luas lagi sebagai anggota Dewan HAM PBB. Telah ditegaskan bahwa Pelapor Khusus diundang untuk melakukan kunjungan ke negara ini. Beliau mengartikan undangan ini sebagai pertanda bahwa Indonesia berkeinginan membuka diri terhadap penelitian cermat yang independen dan obyektif terhadap situasi penyiksaan dan penganiayaan di Indonesia.
Dalam hal mekanisme pemantauan anti-penyiksaan, penemuan Pelapor Khusus menjadi sangat efektif hanya apabila beliau menikmati kebebasan tanpa adanya pembatasan termasuk pada saat berkunjung ke tempat-tempat penahanan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan mewawancara para tahanan secara pribadi dan tertutup. Dalam konteks ini, Pelapor Khusus menyesalkan bahwa di sejumlah instansi, akses beliau ke tempat-tempat penahanan yang tidak boleh dihalangi, ternyata dipersulit, termasuk saat mewawancara para tahanan secara pribadi di mana hal ini bertentangan dengan Kerangka Acuan Kerja beliau. Sementara hampir semua akses keseluruhan diberikan kepada beliau, gangguan-gangguan semacam itu tidak dapat diterima, dan mengandung resiko penyimpangan tujuan penilaian terhadap praktek sehari-hari yang berlaku di tempat-tempat penahanan.
Dengan pertimbangan protes/keberatan ini, dan berdasarkan analisa sistem hukum, kunjungan beliau ke fasilitas-fasilitas penahanan, wawancara dengan para tahanan, bukti-bukti medis forensik pendukung, dan wawancara dengan pejabat Pemerintah, pengacara dan perwakilan LSM, Pelapor Khusus menyimpulkan bahwa karena kurangnya perlindungan hukum dan institusional, serta impunitas struktural yang berlaku, orang-orang yang kehilangan kebebasannya menjadi sangat rentan terhadap penyiksaan dan penganiayaan.
Menurut pendapatnya, ketiadaan penyiksaan atau penganiayaan dalam konteks tertentu lebih merupakan konsekuensi kebetulan dari watak pribadi manajemen di tempat penahanan yang bersangkutan, dan bukan merupakan hasil mekanisme pencegahan yang efektif. Hal ini bertentangan dengan kondisi yang relatif baik seperti yang Pelapor Khusus lihat di penjara-penjara di luar Jakarta
Secara khusus, Pelapor Khusus ingin menyampaikan pengamatannya sebagai berikut:
Impunitas
Walaupun Pelapor Khusus telah diyakinkan oleh Pemerintah bahwa proses pemasukan bentuk kejahatan penyiksaan dalam KUHP Indonesia saat ini sedang berjalan, beliau menyayangkan karena proses tersebut belum juga selesai, padahal banyak rekomendasi berkaitan dengan hal ini baik dari pengamat nasional maupun internasional. Kriminalisasi penyiksaan dengan sangsi sepadan, misalnya tidak kurang dari beberapa tahun hukuman penjara, sebaiknya menjadi prioritas mutlak dan sebaiknya disahkan dalam perundangan-undangan tanpa penundaan lebih lanjut, sebagai bukti nyata komitmen Indonesia untuk memberantas masalah ini.
Menarik pelaku ke pengadilan adalah tanda-tanda kuat bahwa penyiksaan dan perbuatan menyakitkan tidak dapat diterima. Pelapor Khusus menyayangkan bahwa di beberapa pertemuan, pejabat Pemerintah tidak dapat menyebutkan satu contoh kasus di mana pejabat pemerintah di suatu instansi dihukum oleh pengadilan kriminal karena melakukan penyiksaan atau perlakukan yang menyakitkan, baik itu selama masa kekuasaan Suharto atau setelahnya. Berdasarkan apa yang diketahu oleh Pelapor Khusus, tidak ada pejabat pemerintah yang diduga melakukan penyiksaan telah dinyatakan bersalah padahal KOMNAS HAM dan pihak-pihak lainnya telah melakukan penyelidikan yang mengidentifikasi mereka yang diduga melakukan penyiksaan.
Perlindungan Hukum dan Institusional
Pelapor Khusus mengamati bahwa perlindungan hukum bagi para tahanan, khususnya di rutan, benar-benar tidak ada, yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma dan standar internasional yang berlaku yang telah dianut oleh Indonesia. Salah satu keprihatinan khusus adalah panjangnya waktu penahan polisi yang diperbolehkan dalam hukum, sampai beberapa bulan dan selama dimana kebanyakan tahanan tidak memiliki atau dibatasi aksesnya ke pengadilan. Lebih jauh lagi, ternyata kejaksaan – dan pada akhirnya lembaga peradilan– tidak memainkan peranan yang efektif dalam memeriksa kasus yang dibawa kepada mereka, dan bahwa korupsi di sistem peradilan pidana dilaporkan telah menyebarluas. Hanya sebagian kecil tahanan memiliki akses ke pengacara. Dalam konteks ini, akibat kurangnya perlindungan dan munculnya keraguan bagaimana cara pengakuan bersalah pelaku didapat di instansi ini, Pelapor Khusus mempertimbangkan bahwa penerapan hukuman mati adalah tidak layak. Beliau juga melihat bahwa kerahasiaan eksekusi yang dijalankan merupakan pelanggaran terhadap standard HAM internasional.
Lebih jauh lagi, Pelapor Khusus belum diberikan informasi mengenai mekanisme yang efektif dimana legalitas para tahanan dapat ditinjau oleh badan yang tidak berpihak atau dimana para tahanan dapat melaporkan keluhan mengenai perlakuan yang menyakitkan atau penyiksaan. Sebaliknya, lawan bicara selama wawancara di sistem penjara, Kejaksaan Jaksa Agung dan para dokter mengindikasikan kepada Pelapor Khusus bahwa apabila ada tahanan yang kedapatan memiliki tanda-tanda bekas penyiksaan atau perlakuan yang menyakitkan yang diserahkan kepada otoritas mereka, biasanya tahanan tersebut diserahkan kembali kepada polisi, untuk menghindari tambahan masalah administrasi. Tidak ada badan nasional yang secara rutin memantau tempat-tempat penahanan. Berdasarkan pengalamannya, mengingat mekanisme pemantauan semacam itu, memungkinkan pihak yang berwenang untuk melakukan kunjungan tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan merupakan salah satu dari beberapa perangkat yang paling efektif untuk mencegah penyiksaan, maka Pelapor Khusus menyerukan agar National Human Rights Action Plan (2004-2009), yang diharapkan dapat diratifikasi tahun 2008, sebagai Optional Protocol dari UN Convention Against Torture, memasukan pembentukan mekanisme tersebut. Beliau mempertimbangkan bahwa penambahan atas perangkat penting ini, dan implementasinya yang efektif, akan menjadi langkah kedepan yang utama untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan yang menyakitkan di masa mendatang. Dalam konteks ini, Pelapor Khusus mengharapkan agar pemerintah mempertimbangkan mekanisme pengawasan semacam ini sebagai usaha kolektif dalam mendapatkan bukti.
Penyiksaan dan perlakuan yang menyakitkan
(a) Penahanan polisi
Menurut pendapat Pelapor Khusus, tahanan lebih rentan terhadap penganyaiaan saat mereka berada dalam tahanan polisi daripada di penjara. Masalah penyiksaan oleh polisi telah menyebar cukup luas sehingga memerlukan perhatian secepatnya dari Pemerintah. Dalam beberapa contoh, Pelapor Khusus tiba di kantor polisi ketika pemukulan sedang berlangsung. Beliau juga prihatin tentang adanya beberapa bentuk intimidasi yang terjadi di tempat penahanan.
Jenis penganiayaan yang dilaporkan kepada Pelapor Khusus, dan dikuatkan oleh analisa dari ahli medis, diantaranya dalah pemukulan dengan tangan kosong, tongkat rotan atau tongkat kayu, kabel, batang besi dan palu. Di beberapa kasus, polisi menembak tahanan di kaki mereka dalam jarak dekat, atau menyengat mereka dengan arus listrik. Sejumlah tahanan diduga disiksa dengan cara kaki mereka dibebani dengan benda-benda berat (kursi, meja dan dongkrak mobil). Di banyak contoh, tujuan dari kekerasan ini adalah untuk mendapatkan pengakuan bersalah dari tersangka.
(b) Penjara dan tempat penahanan
Pelapor Khusus mencatat bahwa beliau menerima hanya sejumlah kecil dugaan adanya perlakuan yang menyakitkan dan hukuman badan baik di rutan maupun lapas. Patut dicatat bahwa di penjara dengan keamanan sangat maksimum di Lapas Pasir Putih (Nusa Kambangan), tidak ada satu dugaan kekerasan apapun; di beberapa tempat lainnya, insiden kekerasan lebih merupakan pengecualian daripada peraturan. Namun demikian, hal positif ini sebaiknya tidak mengurangi fakta bahwa Pelapor Khusus menemukan dugaan dan bukti beberapa kasus pemukulan oleh sipir. Beliau juga mendengar laporan yang dapat dipercaya dari para tahanan, khususnya di penjara militer, di mana tahanan dipaksa melakukan olahraga, kadang-kadang dibawah matahari yang menyengat di depan tahanan lain, sebagai bentuk penghukuman dan mempermalukan. Hukuman fisik merupakan penganiayaan dan sangat dilarang dalam instrumen HAM internasional.
(c) Kondisi tempat penahanan
Kebanyakan penjara sangat luas, bersih dan terpelihara, dan di bawah kapasitas maksimum. Pelapor Khusus selanjutnya menyambut baik keterbukan yang relatif dari tempat-tempat penahanan (misalnya dibanyak tempat sanak saudara dan teman diperbolehkan berkunjung beberapa kali dalam satu minggu); memelihara hubungan dengan dunia luar adalah komponen utama kesuksesan rehabilitasi dan reintegrasi para tahanan, dan juga perlindungan potensial yang penting untuk melawan perlakuan yang menyakitkan. Keterbukaan ini khususnya terlihat di Papua, termasuk mereka yang dikenai kejahatan politik.
Beliau juga memuji system perlakuan terhadap remaja (usia 18 – 21) sebagai kategori terpisah dan mereka ditempatkan terpisah dari orang dewasa apabila memungkinkan. Praktek terbaik lainnya adalah fakta bahwa wanita hamil sering dilepas sementara dari tahanan untuk melahirkan, dan wanita dalam tahanan polisi dan penjara bisa tetap bersama bayinya, dan diperbolehkan menjaga hubungan yang sangat dekat dengan anak-anak mereka yang lebih tua. Berkaitan dengan hal ini, Pelapor Khusus prihatin dengan peraturan bagi orang yang ditahan oleh Kementrian Sosial ternyata lebih keras.. Beliau menerima informasi mengenai sebuah kasus dimana seorang ibu dimasukan dalam tempat penahanan tujuh hari setelah melahirkan, dan diperbolehkan menemui bayinya hanya seminggu sekali.
Namun demikian, beberapa penjara yang dikunjungi Pelapor Khusus ternyata sangat padat (terutama Pondok Bambu dan Cipinang di Jakarta), yang jelas berakibat pada masalah kebersihan dan keamanan. Pelapor Khusus menerima banyak sekali laporan tentang makanan yang tidak cukup jika tidak bisa ditambah oleh keluarga; di Cipinang, korupsi merajalela dimana uang harus diberikan untuk mendapatkan hampir setiap jenis fasilitas mendasar. Walaupun di kebanyakan penjara para perawat dan kadang-kadang dokter menyediakan perawatan medis setiap hari, namun kasus serius umumnya tetap tidak ditangani apabila tahanan tidak mampu membayar. Pelapor Khusus menemukan beberapa tahanan yang membutuhkan pemeriksaan dan perawatan medis. Seperti yang dilaporkan kepada Pelapor Khusus bahwa HIV/AIDS merupakan masalah besar yang perlu ditangani dengan program terarah.
Pelapor Khusus menemukan fasilitas penahanan dan penjara memiliki “program orientasi” dimana tahanan baru “dikarantina” – seringkali selama beberapa hari di ruangan yang kecil, gelap dan kotor berdasarkan pengamatan di penjara di Wamena – yang jelas bertentang dengan standar internasional. Penggunaan ruang hukuman juga menjadi keprihatinan. Di penjara Cipinang pengurungan di dalam sel hukuman dalam waktu yang panjang dapat merupakan perlakuan yang tidak manusiawi.
Umumnya kondisi lebih buruk terjadi di fasilitas penahanan polisi, dimana seringkali saluran udara terbatas, tidak ada sinar matahari masuk dan tidak ada kemungkinan berolahraga; dengan banyaknya tahanan yang tinggal disana untuk beberapa bulan semakin memperburuk situasi. Pelapor Khusus juga menerima banyak keluhan mengenai jumlah dan kualitas makanan, dan kurangnya akses ke fasilitas kesehatan. Beliau diberitahu bahwa beberapa tahanan, begitu statusnya berubah menjadi tahanan di bawah otoritas kejaksaan, mereka tidak lagi menerima jatah makanan, walaupun berada dalam penahanan polisi.
Keprihatinan utama lainnya adalah tingginya angka kematian di tempat-tempat penahanan (misalnya, berdasarkan keterangan dari para petugas, di Cipinang ada 166 kematian tahun 2005, 159 tahun 2006, dan 107 sepanjang tahun 2007). Lebih jauh lagi, di salah satu kasus bunuh diri ketika berada dalam tahanan polisi, Pelapor Khusus dapat memastikan bahwa, bertentangan dengan standar internasional, kasus ini tidak dilanjuti dengan penyelidikan melalui autopsi.
(d) Perempuan dan Anak-anak
Pelapor Khusus PBB sangat prihatin bahwa tanggung jawab kriminal di Indonesia dimulai sejak umur delapan tahun, dan oleh karena itu anak-anak kecil dapat dimasukkan kedalam penjara, yang sering kali digabung dengan remaja dan orang dewasa. Lebih jauh lagi, dalam pengamatan Pelapor Khusus, anak-anak beresiko tinggi terhadap hukuman fisik dan perlakuan yang menyakitkan di tempat penahanan. Di penjara anak di Pondok Bambu, Jakarta, dan di penjara Yogyakarta, banyak anak-anak diduga telah dipukuli baik oleh polisi atau tahanan lainnya selama dalam tahanan polisi, seringkali dengan sepengetahuan aparat polisi. Di penjara anak Kutoarjo, manajemen penjara mengakui adanya pemberlakuan hukuman tersebut secara rutin.
Dalam hal perempuan dalam tahanan, Pelapor Khusus memprihatinkan fakta bahwa di banyak kasus, tidak ada atau tidak cukup penjaga perempuan di tahanan polisi dan bahkan di penjara, sebagaimana persyaratan maksimum internasional. Beliau juga prihatin atas penahanan Pekerja Seks di panti rehabilitasi sosial selama sampai 6 bulan tanpa akses untuk bisa melihat kembali proses penahanan mereka, sekali lagi ini bertentangan dengan standard internasional. Mengenai kekerasan rumah tangga, Pelapor Khusus menyambut baik adopsi undang-undang tahun 2004 yang melarang praktek-praktek kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan membangun jalur-jalur keluha. Akan tetapi, beliau diberi informasi bahwa masih ada banyak halangan dalam penerapan undang-undang ini, seperti kurangnya kesadaran tentang KDRT dan kurangnya jumlah unit-unit polisi yang menangani keluhan semacam ini.
Rekomendasi
Meskipun beliau menyadari langkah-langkah positif yang telah diambil oleh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir untuk mengatasi masalah ini, Pelapor Khusus ingin memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan berikut agar dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana tercantum dalam konstitusi Negara serta dalam hukum internasional:
·Di tingkat teratas Pemerintahan, secara terbuka mengecam praktik penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparatur negara, serta tidak memberikan toleransi terhadap praktik-praktek tersebut;
·Sebagai prioritas, menetapkan penyiksaan sebagai bentuk tindakan kriminal sejalan dengan definisi yang tercantum dalam pasal 1 Konvensi menentang Penyiksaan, dan memberikan hukuman yang sesuai;
·Membentuk mekanisme investigasi kriminal yang independen dan efektif terhadap mereka yang diduga merupakan pelaku penyiksaan dan membawa mereka ke pengadilan;
·Memperkenalkan mekanisme penanganan keluhan yang kerahasiannya terjamin dan mudah diakses di semua tempat penahanan, dan memastikan bahwa setiap keluhan akan ditindaklanjuti dengan investigasi yang independen dan bahwa pihak yang menyampaikan keluhan tidak akan menderita tindakan balasan dalam bentuk apapun;
·Mengurangi batas waktu untuk penahanan oleh polisi menjadi 48 jam, sesuai dengan standar internasional;
·Meningkatkan upaya perlindungan menentang penyiksaan dengan cara memperkenalkan habeas corpus yang efektif: dengan menyediakan akses ke pengadilan, pengacara dan pemeriksaan medis yang independen untuk semua orang yang berada dalam tahanan, baik berdasarkan KUHP maupun yang tidak; memastikan bahwa penahanan dalam panti-panti rehabilitasi sosial juga harus mendapatkan tinjauan dari segi hukum
·Memastikan otopsi independen dilakukan setiap kali terjadi kematian dalam tahanan;
·Mendukung Komnas HAM (dan Komnas Perempuan) menjadi aktor yang efektif dalam perlawanan terhadap penyiksaan, berkaitan dengan perannya dalam melakukan pemantauan dan dalam menangani impunitas;
·Memastikan adanya pemisahan antara anak-anak dan orang dewasa, serta pemisahan antara tahanan yang masih menanti proses pengadilan dan yang telah diputus bersalah;
·Melarang hukuman badan/fisik;
·Membentuk mekanisme yang efektif guna menegakkan larangan atas kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga; menaikkan batasan usia seseorang yang dapat dianggap bertanggung jawab secara kriminal sesuai dengan standar-standar internasional;
·Mengaksesi Protokol Pilihan dari Konvensi Menentang Penyiksaan; serta membentuk mekanisme nasional yang efektif untuk melakukan kunjungan tanpa pemberitahuan sebelumnya ke semua tempat-tempat penahanan; dan
·Menghapuskan hukuman mati.
Pelapor Khusus PBB memahami bahwa implementasi sistem peradilan yang sepenuhnya sejalan dengan hukum internasional akan memakan biaya. Oleh karena itu, beliau meminta agar komunitas internasional mendukung perubahan-perubahan yang tercantum di atas.
Pelapor Khusus akan menyerahkan laporan tertulis yang komperehensif dengan pemaparan terinci atas temuan dan rekomendasi yang merupakan hasil kunjungannya kepada Dewan HAM PBB.
Catatan Informasi
Manfred Nowak ditunjuk sebagai Pelapor Khusus pada 1 Desember 2004 oleh Komisi HAM PBB. Sebagai Pelapor Khusus, posisi beliau tidak terkait dengan pemerintah manapun, dan bertugas dalam kapasitas perorangan. Komisi ini pertama kali memutuskan menunjuk seorang pelapor khusus untuk mencermati hal-hal yang berkaitan dengan penyiksaan pada tahun 1985. Setelah berada dibawah Dewan HAM PBB, mandat ini mencakup seluruh negara, baik yang telah atau belum meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
Manfred Nowak sebelumnya menjabat sebagai anggota Kelompok Kerja mengenai Penghilangan Paksa dan Tidak Sukarela; staf ahli PBB perihal orang hilang di negara bekas Yugoslavia; staf ahli PBB perihal pertanyaan-pertanyaan hukum seputar penghilangan orang secara paksa; dan sebagai hakim di Majelis HAM untuk Bosnia dan Herzegovina. Beliau adalah Profesor di bidang Hukum Tata Negara dan HAM dari University of Vienna, dan Direktur Institut Ludwig Boltzman untuk HAM.
Informasi lebih lanjut mengenai mandat Pelapor Khusus, dapat dilihat dalam situs:
http://www.ohchr.org/english/issues/torture/rapporteur/index.htm
Lampiran
(a) Pertemuan-pertemuan
Pelapor Khusus mengadakan pertemuan dengan: Yang Terhormat, Bapak Agung Laksono, Ketua DPR; Yang Terhormat, Bapak Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri; Yang Terhormat, Bapak Andi Mattalatta, Menteri Hukum dan HAM; Yang Terhormat, Bapak Hendarman Supandji, Jaksa Agung; serta Yang Terhormat Bapak Irwandi Yusuf, Gubernur NAD.
Selain itu, Pelapor Khusus juga bertemu dengan Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan Direktur Jenderal HAM; para pejabat dari Departemen Dalam Negeri, dan Kementrian Koordinasi untuk Politik, Hukum dan Keamanan; serta para perwira senior dari markas besar TNI dan POLRI.
Selain dari pihak Pemerintah, Pelapor Khusus bertemu dengan para anggota dan staf Komnas HAM serta Komnas Perempuan. Beliau juga berdiskusi dengan sejumlah LSM dan perwakilan masyarakat sipil lainnya. Selain itu, Pelapor Khusus mengadakan pertemuan dengan kepala badan-badan PBB di Indonesia dan komunitas diplomatik. Bersama dengan pejabat pemerintah, Beliau juga turut serta dalam seminar guna mendiskusikan aksesi Protokol Pilihan dalam Konvensi Menentang Penyiksaan.
(b) Lokasi Yang Dikunjungi
Jakarta:
* Panti Rehabilitasi Sosial, Pasar Rebo
* Rutan wanita dan anak-anak, Pondok Bambu
* LP Cipinang
* POLRES Jakarta Timur
* POLRES Jakarta Selatan
Papua:
* LP Abepura
* Tempat penahanan militer di Abepura
* LP Wamena
* POLRES Wamena
* POLSEK Wamena
* KP3 Udara Wamena
* POLDA di Jayapura
* POLSEK Abepura
* POLSEK Kurulu
Sulawesi:
* LP Makassar
* Tempat penahanan militer di Makassar (Masmil)
* POLDA di Makassar
Bali:
* POLSEK Sidemen
* POLRES Gianyar
Jawa Tengah:
* LP Wirogunan, Yogyakarta
* LP Anak Kutoarjo
* LP Batu (Nusa Kambangan)
* LP Pasir Putih (Penjara dengan Pengamanan Maksimum di Nusa Kambangan)
* POLTABES Yogyakarta
Sumber : Press Release United Nations

Baca Selengkapnya...
 

tanmalaku | samsul alam agus